Dusun Sade barangkali cukup mewakili untuk disebut sebagai Desa Wisata layaknya Desa Wisata di daerah lain. Sebab, masyarakat yang tinggal di dusun tersebut semuanya adalah Suku Sasak. Mereka hingga kini masih memegang teguh adat tradisi. Bahkan, rumah adat khas Sasak juga masih terlihat berdiri kokoh dan terawat di kawasan ini. Suku Sasak adalah penduduk asli dan mayoritas di Pulau Lombok, NTB. Konon, kebudayaan masyarakat terekam dalam kitab Nagara Kartha Gama karangan Empu Nala dari Majapahit. Dalam kitab itu, Suku Sasak disebut "Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi". Sedangkan kebudayaan Suku Sasak itu diantaranya terekam dalam rumah adat Suku Sasak. Alasannya, rumah memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai tempat secara individu dan keluarga secara jasmani, tetapi juga dalam pemenuhan kebutuhan jiwa atau spiritual. Rumah adat Suku Sasak, jika diperhatikan dibangun berdasarkan nilai estetika dan kearifan lokal. Orang sasak mengenal beberapa jenis bangunan adat yang menjadi tempat tinggal dan juga tempat ritual adat dan ritual keagamaan. Rumah adat suku Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek). Lantai dari tanah liat yang dicampur kotoran kerbau dan abu jerami. Campuran tanah liat dan kotoran kerbau membuat lantai tanah mengeras, sekeras semen. Cara membuat lantai seperti itu sudah diwarisi sejak nenek moyang mereka. Bahan bangunan seperti kayu dan bambu didapatkan dari lingkungan sekitar. Untuk menyambung bagian-bagian kayu, mereka menggunakan paku dari bambu. Rumah suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, tidak memiliki jendela. Dalam masyarakat Sasak, rumah memiliki dimensi kesakralan dan keduniawian. Rumah adat Sasak selain sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat ritual sakral sebagai manifestasi keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang, penunggu rumah dan sebagainya.
Perubahan pengetahuan, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya faktor eksternal seperti faktor keamanan, geografis dan topografis, menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang dan polanya tetap menampilkan karakteristik tradisional. Karena itu, untuk menjaga kelestarian rumah adat, orang tua Suku Sasak biasanya berpesan kepada anak-anaknya jika ingin membangun rumah. Jika tetap mau tinggal didaerah setempat, maka harus membuat rumah seperti model dan bahan bangunan yang sudah ada. Tapi, jika ingin membangun rumah permanen seperti di kampung-kampung lain pada umumnya, mereka dipersilahkan keluar dari kampung tersebut.Pembangunan Rumah Bahan pembuat rumah adat suku Sasak diantaranya kayu penyanggga, bambu, bedek untuk dinding, jerami dan alang-alang untuk atap, kotoran kerbau atau kuda sebagai bahan campuran pengeras lantai, getah pohon kayu banten dan bajur, abu jerami sebagai bahan pengeras lantai. Waktu pembangunan, biasanya berpedoman pada papan warige dari primbon tapel adam dan tajul muluk. Tidak semua orang mampu menentukan hari baik. Biasanya mereka bertanya kepada pimpinan adat. Orang Sasak meyakini waktu yang baik memulai membangun rumah adalah bulan ketiga dan keduabelas penanggalan Sasak yakni Rabiul Awal dan Dzulhijjah. Pantangan yang dihindari untuk membangun rumah adalah pada Muharram dan Ramadhan. Menurut kepercayaan, rumah yang dibangung pada bulan itu cenderung mengundang malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rezeki dan lain-lain. Orang Sasak selektif dalam menentukan tempat pembangunan rumah. karena mereka meyakini tempat yang tidak tepat akan berakibat kurang baik, seperti i bekas perapian, bekas pembuangan sampah, bekas sumur, posisi tusuk sate (susur gubug). Orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dulu ada. Menurut mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu (maliq lenget). Rumah adat Sasak pada atapnya berbentuk gunungan, menukik ke bawah dengan jarak sekitar 1,5-2 meter dari permukaan tanah (pondasi). Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dinding dari bedek, hanya mempunyai satu ukuran kecil dan tidak ada jendela. Ruangannya (rong) dibagi menjadi inak bale (ruang induk) meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalam berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan. Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur dan sempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2X2 meter persegi atau empat persegi panjang. Sempare diletakkan diatas, posisi menggantung di langit-langit atap.
Ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser). Diantara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan lantainya berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau/kuda, getah dan abu jerami. Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Pembangunan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan keluarga tapi juga kebutuhan kelompok. Bangunan rumah dalam komplek perumahan Sasak terdiri dari berbagai macam diantaranya Bale Tani, Bale Jajar, Barugag/Sekepat, Sekenam, Bale Bonder, Bale Beleq Bencingah dan Bale Tajuk. Nama bangunan disesuaikan dengan fungsi masing-masing. Bale Tani adalah bangunan rumah untuk tempat tinggal masyarakat Sasak yang berprofesi sebagai petani. Bale Jajar merupakan bangunan rumah tinggal orang Sasak golongan ekonomi menengah keatas. Bentuk bale jajar hampir sama dengan bale tani, yang membedakan adalah jumlah dalem balenya. Barugaq/sekepat berbentuk segi empat sama sisi (bujur sangkar) tanpa dinding, penyangganya dari kayu, bambu dan alang-alang sebagai atapnya. Barugaq biasanya terdapat di depan samping kiri atau kanan bale jajar atau bale tani. Barugaq berfungsi tempat menerima tamu, karena menurut kebiasaan orang Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah. Barugaq juga digunakan pemilik rumah yang memiliki gadis untuk menerima pemuda yang datang midang (melamar/pacaran). Sedangkan sekenam bentuknya sama dengan barugaq, hanya sekenam mempunyai tiang sebanyak enam buah dan berada di bagian belakang rumah. Sekenam biasanya digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar tata krama, penanaman nilai-nilai budaya dan sebagai tempat pertemuan internal keluarga. Bale Bonder adalah bangunan tradisional Sasak yang umumnya dimiliki para pejabar desa, dusun/kampung. Bale bonder biasanya dibangun di tengah pemukiman atau di pusat pemerintahan desa/kampung. Bale bonder digunakan sebagai tempat pesangkepan/persidangan atas, seperti tempat penyelesaian masalah pelanggaran hukum adat dan sebagainya. Bale Beleq adalah satu sarana penting bagi sebuah kerajaan. Bale itu diperuntukkan sebagai tempat kegiatan besar kerajaan sehingga sering disebut juga "bencingah". Upacara kerajaan yang dilakukan di bale beleq adalah Pelantikan pejabat kerajaan, penobatan putra mahkota kerajaan, pengukuhan/penobatan para Kiai Penghulu (pendita) kerajaan, tempat penyimpanan benda-benda pusaka kerajaan seperti persenjataan dan benda pusaka lainnya seperti pustaka/dokumen kerajaan dan sebagainya. Bale Tajuk merupakan salah satu sarana pendukung bagi bangunan rumah tinggal yang memiliki keluarga besar. Bale Tajuk berbentuk segilima dengan tiang berjumlah lima buah dan biasanya berada di tengah lingkungan keluarga santana. Bale Gunung Rate biasanya dibangun oleh masyarakat yang tinggal di lereng pegunungan, bale balaq dibangun dengan tujuan menghindari bencana banjir. Oleh karena itu, biasanya berbentuk rumah panggung. Selain bangunan itu, ada bangunan pendukung yakni Sambi, Alang dan Lumbung. Sambi, tempat menyimpan hasil pertanian. Alang sama dengan lumbung berfungsi untuk menyimpan hasil pertanian , hanya alang bentuknya khas, beratapkan alang-alang dengan lengkungan 3/4 lingkaran namun lonjong dan ujungnya tajam ke atas.Lumbung, tempat untuk menyimpan berbagai kebutuhan. Lumbung tidak sama dengan sambi dan alang sebab lumbung biasanya diletakkan di dalam rumah/kamar atau di tempat khusus diluar bangunan rumah.
Nilai-nilai Jika diperhatikan, pembangunan rumah adat Suku Sasak sebenarnya mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan itu berkembang dan berlanjut secara turun-temurun. Atap rumah tradisional Sasak didesain sangat rendah dengan pintu berukuran kecil, bertujuan agar tamu yang datang harus merunduk. Sikap merunduk merupakan sikap saling hormat menghormati dan saling menghargai antara tamu dengan tuan rumah. Arah dan ukuran yang sama rumah adar Suku Sasak menunjukkan bahwa masyarakat hidup harmonis. Sedangkan undak-undakan (tangga) tingkat tiga mempunyai pesan bahwa tingkat ketakwaan ilmu pengetahuan dan kekayaan tiap manusia tidak akan sama. Diharapkan semua manusia menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, kareba semuanya merupakan rahmat Tuhan. Jadi, rumah merupakan ekspresi pemikiran paling nyata seorang individu atau kelompok dalam mengejwantahkan hubungan dengan sesama manusia (komunitas atau masyarakat), alam dan dengan Tuhan (keyakinan), seperti halnya konsep yang ada pada pembangunan rumah adat masyarakat Sasak. (*)
Read More...
Namun, di Pulau Lombok anda juga bisa menikmati pecel. Di daerah ini, khususnya di Kota Mataram sebagai ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), pecel yang ditawarkan ada berbagai macam, tidak hanya pecel khas Madiun atau Blitar, tapi ada pula pecel khas Lombok.
Pecel khas Lombok berbahan baku kangkung, tauge, dan mentimun. Selain itu, dalam penyajiannya, pecel khas Lombok disirami sambal berikut lontong serta kerupuk.
Jadi, pecel khas Lombok bercita rasa seperti layaknya gado-gado pada umumnya. Sebab, rasa sambal yang digunakan, rasa kacanglah yang sangat menonjol.
Perbedaan pecel yang dikenal di Blitar atau pun di Madiun dengan pecel khas Lombok lainnya barangkali adalah tambahan kerupuknya. Penyajian menu makanan pecel dengan kerupuk, tidak lazim. Pecel dari Blitar dan Madiun biasa disajikan bersama rempeyek.
Perbedaan lainnya, bahan baku sebagai "penyedap rasa" kemangi yang biasa ditaburkan pada pecel khas Blitar dan Madiun pun juga tidak akan ditemui pada pecel khas Lombok.
Barangkali perbedaan-perbedaan itulah yang menjadikan pecel yang dijajakan di Lombok memiliki ciri tersendiri. Meski sedikit berbeda dengan pecel pada umumnya, pecel khas Lombok juga tidak kalah lezatnya.
Nah, rasa penasaran anda akan terjawab jika anda berkunjung ke Lombok dan berburu khasanah kulinernya yang beragam. (*)
Bagi masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, makanan ringan klepon barangkali bukanlah jenis makanan yang asing. Bahkan, makanan tersebut cukup mudah dijumpai di pasar-pasar tradisional di kawasan tersebut.
Apalagi, jika kita sedang melintas di sekitar pintu keluar jalan tol Surabaya-Gempol (Pasuruan), Jawa Timur, klepon banyak dijajakan di warung-warung di tepi jalan.
Klepon yang dijajakan di tepi jalan kawasan Gempol Pasuruan itu bahkan sudah dikemas rapi dengan "besek", kotak yang terbuat dari anyaman bambu. Meski yang dijajakan sama, namun untuk menggaet pelanggan para penjual klepon berusaha memberikan merek sendiri-sendiri kelpon yang dihasilkan.
Lain di Jawa, lain pula di Pulau Lombok. Untuk memperoleh "jajan pasar" tersebut, kita harus menyisir dari satu pasar ke pasar lainnya. "Ada sih disini. Tapi, mungkin tidak sebanyak di Jawa. Klepon biasa dijual di pasar-pasar tradisional," kata Hamdan Arifin, salah seorang warga Ampenan, Kota Mataram.
Klepon adalah "jajan pasar" yang terbuat dari tepung ketan. Untuk memberikan warna, biasanya dari daun pandan atau daun suji. Selain itu, bahan-bahan lain yang dibutuhkan seperti gula merah, kelapa muda dan garam.
Cara membuatnya, campur tepung ketan dengan bahan lainnya seperti air daun suji dan garam, kemudian diaduk (diuleni) hingga rata. Bentuk adonan menjadi bola-bola, pipihkan dan isi dengan sedikit gula merah, selanjutnya bulatkan kembali.
Rebus bola-bola hingga mengapung dan matang. Angkat dan tiriskan. Untuk menyajikan, bulatan-bulatan yang sudah masak itu dilumuri dengan kelapa muda yang sudah diparut. Tampilan yang indah, tentu akan sangat menggugah selera anda.
Tapi, untuk menyantap makanan yang satu ini, anda harus hati-hati. Sebab, jika bulatan-bulatan yang kita kunyah pecah, isi didalamnya (gula merah) bisa menyembur keluar. Nah, bagi anda yang berkunjung ke Pulau Lombok, tidak usah khawatir tidak menemukan "jajan pasar" yang satu ini. (*)
Rumah makan yang tidak terlalu luas itu menyuguhkan berbagai menu masakan yang bisa anda jajal. Hampir semua menu masakan yang ditawarkan, termasuk diantaranya rawon, tampaknya tidak akan mengecewakan.
Rawon yang ditawarkan rumah makan ini layaknya rawon yang banyak dijajakan di Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Tapi, yang membedakan barangkali citarasa serta tauge atau kecambah dan lauk yang melengkapi menu yang satu ini.
Citarasa rawon yang ditawarkan rumah makan ini sangat gurih, bumbu dan rempahnya sangat terasa. Sedangkan kecambah pendek yang biasa menyertai rawon di Jawa Timur, diganti dengan kecambah panjang yang bercita rasa beda, renyah "kriak-kriak".
Rawon yang dijajakan di Pulau Lombok juga berbahan daging sapi serta kuahnya gelap karena kluwek. Tapi, rawon di Pulau Lombok dalam penyajiannya tidak selengkap rawon di Jawa Timur.
Jika menikmati nasi rawon di rumah makan di Jawa Timur, rawon akan diikuti dengan lauk pendamping seperti tempe, krupuk udang, sambal, empal atau daging serta jeruk untuk penambah citarasa. Namun, di Pulau Lombok rawon hanya disajikan bersama sambal, jeruk dan kecambah.
Memang, penyajian nasi rawon di Pulau Lombok tidak selengkap di Jawa Timur. Tapi, citarasa rawon yang ditawarkan tak akan bisa membendung minat untuk segera menikmatinya.
Nah, agar anda tidak penasaran, silakan berkunjung ke Pulau Lombok untuk menikmati wisata alam nan indah serta wisata kulinernya yang beragam. (*)
Jalan aspal berkelok yang membelah Gunung Pusuk merupakan jalan yang biasa digunakan wisatawan untuk menjangkau obyek wisata Pantai Medana, Pantai Sire, maupun Pantai Senggigi.
Selain melalui Pusuk, untuk menjangkau sejumlah obyek wisata alam berpanorama indah itu, wisatawan juga bisa menyisir jalan dari Kota Mataram melalui "Kota Lama" Ampenan.
Jarak tempuh dari Kota Mataram ke obyek wisata Pantai Senggigi sekitar 15 kilometer, sedangkan dari Kota Mataram ke Pusuk (Pusuk Pass) jaraknya juga hampir sama.
Hanya saja, wisatawan yang menjangkau obyek wisata melalui Pusuk, lebih dekat jika ingin menikmati Pantai Sire, Pantai Medana di Lombok Utara sebelum menjangkau Pantai Senggigi yang berada di wilayah Lombok Barat.
Bahkan, untuk menjangkau obyek wisata tiga gili (pulau kecil), masing-masing Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan, jalur melalui Pusuk lebih dianjurkan, karena lebih dekat. Untuk menyeberang ke gili tersebut telah tersedia dermaga penyeberangan di Pamenang.
Sementara itu, Pusuk yang merupakan kawasan Hutan Rinjani sebenarnya merupakan perbukitan yang di dalamnya terdapat berbagai jenis vegetasi seperti kumbi, garu, mahoni, sonokeling, terep, piling dan tanaman lain.
Banyaknya tanaman berukuran besar dan rindang menjadikan lokasi tersebut nyaman untuk hunian monyet. Monyet yang ada di hutan Pusuk adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Dalam kesehariannya, menurut penuturan warga setempat, monyet-monyet di hutan Pusuk tidak hanya mencari makanan di dalam hutan, tapi banyak juga yang menyusuri jalan, mengharapkan pemberian pengunjung yang sengaja ingin bercengkerama di tempat itu.
Para pengunjung sepertinya sudah hafal dengan kebiasaan monyet di tepian jalan Gunung Pusuk. Sebelum melintas, mereka biasanya membawa "oleh-oleh" seperti kacang, pisang, roti, atau bahkan jagung rebus.
Monyet-monyet yang terlihat di tepi jalan sepertinya juga sudah mengerti jika ada pengunjung yang menepikan kendaraannya. Para pelancong itu biasanya akan memberi kacang atau makanan lainnya kepada monyet-monyet yang bergerombol di tepi jalan raya.
Monyet-monyet tersebut akan segera berlari melongok melalui kaca mobil sambil berdiri dan mendekat.
Para wisatawan pun tampak tidak canggung-canggung. Mereka lalu membuka pintu mobil dan memberikan "oleh-oleh" kepada monyet yang berjejer mendekat.
Meski monyet tersebut hidup liar di alam bebas, monyet-monyet itu tidak "nakal", tidak mengganggu pengunjung. Mereka hanya akan berlarian, menyeringai, dan berebut makanan.
Kesempatan seperti itulah yang banyak diabadikan wisatawan dengan kamera. "Sangat asyik. Di ketinggian berudara sejuk, kita bisa memberi makan monyet sambil mengabadikan polah tingkahnya," kata Indra Darmawan, wisatawan dari Surabaya.
Populasi
Masyarakat di daerah Pusuk mengemukakan, mereka tidak mengetahui asal mula keberadaan monyet-monyet penghuni Gunung Pusuk tersebut. Mereka pun tidak mengetahui jumlah populasi monyet di Pusuk yang berarti puncak tersebut.
Rahman (55), seorang penjual minuman dan makanan ringan di kawasan Pusuk misalnya, dia hanya mengetahui jika monyet yang kini beranak-pinak di hutan Pusuk sudah ada sejak nenek moyang mereka.
Jumlahnya pun tidak diketahui secara pasti. Masyarakat selama ini hanya memperkirakan populasinya mencapai ratusan ekor. Mereka biasa keluar di tepi jalan secara bergerombol antara 20-30 ekor di sejumlah titik.
Masing-masing kelompok kera memiliki semacam daerah kekuasaan yang mencapai 100-200 meter. Karena itu, jika ada makanan pemberian pengunjung jatuh ke daerah kekuasaan koloni lainnya, mereka akan berkelahi. Pemenangnya berhak atas makanan tersebut.
Untuk berinteraksi dan bercengkerama dengan monyet, Rahman memberikan sejumlah tips, di antaranya pengunjung jangan memberikan makanan dengan sistem tarik ulur, karena monyet akan menyergap ke tangan pemberinya.
Selain itu, tidak mengganggu anak-anak monyet, karena monyet bisa marah dan menyerang. "Kalau memberi makan, jangan memandang mukanya, karena monyet akan menunjukkan taringnya, pertanda marah," katanya.
Keberadaan monyet-monyet itu menjadi atraksi wisata yang diminati wisatawan sejak dulu. Banyak wisatawan rela meluangkan waktunya berlama-lama untuk bercengkerama dengan monyet.
"Tidak hanya wisatawan domestik, wisatawan asing pun banyak yang menyukai atraksi itu," kata staf Humas Pemkab Lombok Barat Chandra menambahkan. (*)
Keterangan Foto: Para wisatawan yang berkunjung ke Gunung Pusuk sangat suka bercengkerama dengan monyet di kawasan Pusuk Pass karena perilakuknya yang terkadang menggemaskan.


























"It's wonderful (sangat indah)," kata Henry, seorang wisatawan asal Eropa yang baru tiba di Kuta setelah menempuh perjalanan dari Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), saat dimintai komentarnya mengenai Pantai Kuta.
Pantai Kuta adalah salah satu objek wisata andalan di Pulau Lombok. Pantai yang menghadap "Laut Selatan" itu berada di wilayah Desa Kuta, Kabupaten Lombok Tengah.
Jarak antara Kota Mataram, Ibukota Provinsi NTB, dengan Pantai Kuta sekitar 70 kilometer, atau satu jam perjalanan mengendarai kendaraan bermotor roda empat.
Meski jaraknya tidak terlalu jauh, tapi untuk menjangkau objek wisata itu perlu kesabaran. Sebab, selain jalan yang berliku dan tidak terlalu lebar, arus lalu lintas di jalur tersebut juga cukup padat.
Apalagi, jika sepanjang perjalanan dari Mataram ke Kuta, wisatawan lebih dulu disuguhi atraksi budaya "nyongkolan".
Nyongkolan adalah upacara adat mengantar calon penganten. Dengan berpakaian adat Sasak, baik tua maupun muda, mereka berjalan kaki ataupun berkendaraan, mengiring penganten yang akan dinikahkan.
Dengan demikian, suasana di sejumlah ruas jalan semakin terlihat semarak, karena dalam arak-arakan pengaten itu ada pula sekelompok kesenian Gendang Belek berirama rancak, dan sebagian pengiring tampak berjoget.
Bahkan, perjalanan menuju Pantai Kuta bisa saja tertunda beberapa saat jika wisatawan ingin juga menyaksikan pembangunan Bandara Internasional Lombok (BIL), atau berhenti sejenak di "Desa Wisata" di Dusun Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut.
BIL dibangun di Dusun Slangit, Desa Tanak Awu, Kabupaten Lombok Tengah. Bandara itu nantinya akan menggatikan Bandara Selaparang, Mataram, yang dioperasikan saat ini. Sedangkan di "Desa Wisata", wisatawan dapat menyaksikan rumah adat dalam satu komplek yang ditinggali sejumlah Kepala Keluarga (KK) masyarakat Sasak. Belum Terjamah
Jika dibandingkan, Pantai Kuta di Pulau Bali dengan Pantai Kuta di Pulau Lombok, masing-masing memiliki kekhasan sendiri-sendiri.
Pantai Kuta di Bali cukup dekat dari pusat kota, sedangkan Pantai Kuta di Pulau Lombok relatif jauh dari kota. Di kawasan Pantai Kuta Bali sudah dibangun dan dikunjungi banyak turis domestik maupun luar negeri, sedangkan Pantai Kuta di Pulau Lombok cukup jauh dari pusat kota dan tergolong relatif masih sepi wisatawan.
Pantai Kuta di Pulau Lombok berada di sebuah teluk yang tidak terlalu panjang di bagian selatan Pulau Lombok. Objek wisata ini berjarak sekitar 25 kilometer dari Kota Praya, Lombok Tengah.
Suasana pedesaan di Pantai Kuta di Pulau Lombok, masih sangat kental. Rumah-rumah tradisional Sasak nan sederhana, mudah dijumpai di kawasan ini. Masyarakat Sasak yang tinggal di sekitar Pantai Kuta di Pulau Lombok yang hidup dari bertani, beternak, menangkap ikan dan membuat kain tenun, sangat mewarnai irama kehidupan di kawasan ini.
Bahkan, warung-warung makan, kafe maupun toko penjual kebutuhan sehari-hari serta cenderamara yang jauh dari kesan modern, juga masih terlihat banyak berjajar hampir di sepanjang pantai.
Bangunan yang tergolong mewah di kawasan itu barangkali hanya Hotel Novotel. Kendati tergolong mewah, hotel yang cukup luas itu pun dibangun dengan arsitektur tradisional Sasak pula.
Konon, kebersahajaan itulah yang justru menjadi salah satu daya tarik Pantai Kuta untuk dikunjungi wisatawan. Alamnya yang asri dan indah, belum banyak terjamah tangan manusia, menawarkan eksotisme.
"Dalam pengamatan saya yang sering pergi ke pantai, Pantai Kuta di Lombok jauh lebih menawan dibandingkan Pantai Kuta di Bali," demikian di antara catatan perjalanan wisata Yusril Ihza Mahendra pada Maret 2008.
Pantai Merica
Pantai Kuta di Lombok selama ini juga dijuluki dengan Pantai Merica. Alasannya, menurut warga setempat, karena pantai ini dikenal pasirnya yang putih kekuningan seperti butiran-butiran merica.
Butiran pasir berbentuk merica itu jika diinjak, kaki terasa tenggelam, susah diangkat untuk melangkah. "Karena kekhasannya itulah tidak jarang wisatawan yang berkunjung ke Pantai Kuta mengambilnya untuk oleh-oleh," kata Chandra Himawan, seorang wisatawan domestik dari Jakarta.
Selain bermain di pantai berpasir putih, di objek wisata itu pengunjung dapat mandi matahari dan berenang di bagian tepi laut, karena airnya cukup dangkal. Pengunjung yang ingin menikmati keindahan pantai dari perairan, dapat menyewa perahu, sementara yang ingin berselancar ada juga yang menyewakan papan selancar.
Berkunjung ke Pantai Kuta agaknya akan terasa sangat istimewa saat di tempat itu digelar upacara "Bau Nyale" atau upacara menangkap cacing laut.
Pengunjung Pantai Kuta saat digelar upacara "Bau Nyale" sangat banyak, bisa mencapai puluhan ribu. Pantai yang begitu indah itu akan tertutup lautan manusia.
Nyale dalam upacara itu ditangkap pada tanggal 20 bulan kesepuluh. Awal tahun Sasak ditandai dengan terbit bintang "Rowot" (tanda-tanda alam yang dikaitkan dengan pertanian), yang menurut penghitungan suku Sasak bulan kesatu dimulai pada tanggal 25 Mei dan umur setiap bulan dihitung 30 hari.
Jika dibandingkan dengan tahun Masehi, perbedaan siklusnya berbeda sedikit atau bulan kesepuluh itu berkisar pada bulan Pebruari.
Menurut sesepuh setempat, nyale yang hendak ditangkap itu diyakini merupakan jelmaan Putri Mandalika yang pada ratusan tahun silam memilih menceburkan diri ke Laut Selatan Pulau Lombok ketika kesulitan memilih satu dari tiga pangeran yang sangat ingin mempersuntingnya.
Konon, dahulu kala terdapat sebuah Kerajaan Seger yang dipimpin oleh Raja Seg (Seger) yang arif dan bijaksana dengan permaisurinya Lale Bulu Kuning (Lining Kuning) serta memiliki seorang puteri cantik jelita yang semasa kecil diberi julukan "Tunjung Beru" (baru muncul).
Menginjak dewasa kecantikan sang putri itu terus tampak dan namanya diubah menjadi Putri Sarah Wulan (putri yang memiliki cahaya kejelitaan). Kecantikannya itu memikat beberapa pangeran (putera mahkota) yakni Pangeran Arya Rembitan, Pangeran Arya Bumbang dan Pangeran Johor.
Ketiga pangeran kemudian melamarnya dan ketiga-tiganya pun diterima hingga muncul kebingungan. Jika dipersunting salah satu pangeran, akan menimbulkan kecemburuan hingga terjadi mala petaka yakni perang saudara atau bencana bagi rakyat.
Setelah mendapat wangsit melalui mimpi, Sang Putri akhirnya memutuskan untuk menceburkan diri ke laut Pantai Selatan Lombok itu, pada tanggal 20 bulan kesepuluh Tahun Sasak. Namun, sebelum melakukan tindakan itu dia lebih dulu mengumumkan keputusannya kepada semua pengeran dan rakyat.
Sejak saat itulah Putri Sarah Wulan diberi nama Putri Mandalika yakni Manda yang berarti bingung atau bimbang dan Lika berati perbuatan. Jadi, Mandalika berarti terperangkap dan perbuatan yang membingungkan.
Cerita yang lebih cenderung tergolong legenda ini hingga kini masih hidup dalam kenangan warga Sasak, khususnya penduduk di sekitar Pantai Kuta, Lombok,
Sepekan setelah Lebaran Topat (Lebaran Ketupat), suasana Pantai Senggigi, di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), masih ramai pengunjung. Wisatawan domestik maupun asing, tampak berbaur di pantai sembari mandi matahari (sun bathing).
Sementara itu, masih di kawasan pantai berpasir putih tersebut , masyarakat Hindu di Pulau Lombok, terlihat berbondong-bondong, menggelar ritual di pura yang berada diatas batu karang. Posisi batu karang itu agak menjorok ke laut.
Pura yang berada di atas batu karang hitam itu oleh masyarakat dinamai Pura Batu Bolong (batu berlubang). Menurut penuturan para sesepuh setempat, pura itu dinamai Batu Bolong karena di bagian bawah dari batu karang tempat pura berada, berlubang. Lubang itu cukup besar, sehingga orang bisa melintas dan tembus ke bibir pantai. Sangat eksotis.
Panorama di kawasan Batu Bolong, jika saja bisa dibandingkan, seperti halnya Tanah Lot di Pulau Bali. Pura Batu Bolong maupun Tanah Lot, sama-sama berada di bibir pantai dan posisinya agak menjorok ke laut.
Tanah Lot adalah sebuah objek wisata di Pulau Bali. Di tempat itu ada dua pura yang terletak di di atas batu besar. Satu terletak di atas bongkahan batu dan satunya terletak di atas tebing mirip dengan Pura Uluwatu.
Di Pura Batu Bolong yang posisinya agak tinggi, jika cuaca cerah bisa melihat Gunung Agung di pulau Bali. Bahkan, saat matahari akan terbenam, dari lokasi tersebut dapat melihat sunset yang indah.
Untuk masuk ke area Pura Batu Bolong, pengunjung diwajibkan memakai pita kuning dari kain. Pita kuning itu dipasang melingkari pinggang. Pengunjung yang tidak membawa pita kuning, tidak perlu khawatir, karena di lokasi tersebut sudah disiapkan persewaan pita.
Pintu masuk Pura Batu Bolong ada dua, yakni pintu masuk utama dan satunya pintu yang disiapkan bagi pengunjung yang akan meninggalkan lokasi tersebut.
Begitu berada di pintu masuk utama, pengunjung harus menuruni tangga batu. Setelah itu, pengunjung dapat naik tangga cukup tinggi yang ada di sebelah kiri menuju pura yang ada di puncak bukit.
Namun, jika pengunjung ingin melanjutkan perjalanan ke arah pantai, pertama kali akan disuguhi pula pura yang dinaungi pepohonan tinggi nan rindang. Meski arealnya tidak terlalu luas, tapi sangat artistik.
Puas dengan menikmati keindahan pura tersebut, pengunjung bisa melanjutkan menyusuri jalan di tepi pantai sebelum menuju pura yang ada diatas dan di ujung lokasi yang menjorok ke laut.
Dari tempat itu pengunjung dapat menyaksikan hamparan pasir putih di sekitarnya seperti pantai Batu Layar yang mempesona. Pantai Batu Layar, pada saat Lebaran Topat dibanjiri masyarakat yang ingin merayakannya disini.
Pura Batu Bolong yang lokasinya masih berada di kawasan wisata Pantai Senggigi, jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat Kota Mataram, hanya sekitar 8-10 kilometer.
Usai mendarat di Bandara Selaparang, wisatawan dapat langsung memesan taksi untuk mengantarkan ke obyek wisata tersebut. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh, maka tarifnya pun sangat terjangkau.
Nah, untuk mengobati rasa penasaran anda, tidak salah kiranya jika Pura Batu Bolong yang juga dibuka untuk wisatawan ini menjadi agenda kunjungan anda berikutnya.(*)
